Monday 27 July 2009

Tawassul (4) Tawassul dengan Para Nabi dan Orang-orang Sholih ketika Beliau Masih Hidup



Muslimin telah mencapai kata sepakat tentang tawassul dengan para nabi dan rasul dan orang-orang sholih ketika masih hidup. Maksud dari tawassul ini adalah dengan mendatangi para nabi dan rasul dan orang-orang sholih ketika masih hidup dan meminta kepada beliau untuk mendoakan.Hal ini berdasarkan hadits Nabi saw. dari Ustman bin Hanif yang mengatakan: “Sesungguhnya telah datang seorang lelaki yang tertimpa musibah (penyakit) kepada Nabi SAW. lantas lelaki itu mengatakan kepada Rasul: ‘Berdoalah kepada Allah untukku agar Ia menyembuhkanku!’. Lantas Rasul bersabda: ‘Jika engkau menghendaki maka aku akan menundanya untukmu, dan itu lebih baik. Namun jika engkau menghendaki maka aku akan berdoa (untukmu)’. Lantas dia (lelaki tadi) berkata: ‘Memohonlah kepada-Nya (untukku)!’. Lantas Rasul memerintahkannya untuk mengambil air wudhu, kemudian ia berwudhu dengan baik lantas melakukan shalat dua rakaat. Kemudian ia membaca doa: ‘Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu, dan aku datang menghampiri-Mu, demi Muhammad sebagai Nabi yang penuh rahmat. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku telah datang menghampiri-mu untuk menjumpai Tuhan-ku dan meminta hajat-ku ini agar terkabulkan.’ (Rasul berdoa) ‘ Ya Allah, maka berilah pertolongan kepadanya untukku.’”
Hadis ini diriwayatkan oleh para Imam Hadis terkemuka Ahlusunnah, seperti: Imam at-Turmudzi dalam Sunan at-Turmudzi 5/531 hadis ke-3578, Imam an-Nasa’i dalam kitab as-Sunan al-Kubra 6/169 hadis ke-10495, Imam Ibnu Majah dalam Sunan Ibnu Majah 1/441 hadis ke-1385, Imam Ahmad dalam Musnad Imam Ahmad 4/138 hadis ke-16789, al-Hakim an-Naisaburi dalam Mustadrak as-Shohihain 1/313, dan as-Suyuthi dalam kitab al-Jami’ as-Shoghir halaman 59.

Firman Alloh, “Mereka berkata: ‘Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa)’”. QS Yusuf: 97.
Jika kita teliti dari ayat di atas maka dapat diambil pelajaran bahwa anak-anak Yakqub tidak meminta pengampunan dari Yakqub sendiri secara independen tanpa melihat kemampuan dan otoritas mutlak Alloh dalam hal pengampunan dosa. Namun mereka jadikan ayah mereka yang tergolong kekasih Alloh (nabi) yang memiliki kedudukan khusus di mata Allah sebagai wasilah (sarana penghubung) permohonan pengampunan dosa dari Allah swt. Dan ternyata,Nabi Yakqub pun tidak menyatakan hal itu sebagai perbuatan syirik, atau memerintahkan anak-anaknya agar langsung memohon kepada Allah SWT karena Allah Maha Mendengarkan segala permohonan dan doa, bahkan Nabi Yakqub menjawab permohonan anak-anaknya tadi dengan ungkapan: “Ya’qub berkata: ‘Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha penyayang.’” QS Yusuf: 98.

Firman Alloh, “Dan kami tidak mengutus seorang rosul melainkan untuk ditaati dengan izin Alloh. Sesungguhnya jika mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Alloh, dan rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Alloh Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” QS an Nisa: 64
Secara dzahir ayat di atas menceritakan tentang para sahabat nabi yang telah melakukan dosa dan mereka datang kepada nabi untuk memohon ampun kepada Alloh, kemudian nabi pun memohonkan ampun untuk mereka. Kejadian itu terjadi saat nabi masih hidup. Namun bukankah umat nabi itu tidak hanya umat yang hidup pada masa nabi, namun seluruh umat dari awal alam ini diciptakan sampai hari akhirat; sesuai firman Alloh, “Dan tidaklah kami mengutusmu melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam.”? Jika memang dipaksakan hanya umat yang hidup pada masa nabi, lantas bagaimana nasib umat-umat lain yang tidak hidup bersama nabi? Tertutupkah pintu tawassul? Hal ini akan kami jelaskan pada artikel yang akan datang. Insya Alloh.


wallohu a'lam
Bersambung...
elsunni

Sunday 26 July 2009

Tawassul (3) Tawassul dengan para nabi dan rasul, dan orang-orang sholih


Perlu diingat, para mutawassil tidak pernah menjadikan para nabi, rasul dan wali Alloh (orang-orang sholih) sebagai sekutu Alloh. Selain itu mereka juga tidak meyakini bahwa para nabi, rasul, dan wali Alloh bisa mendatangkan manfaat dan mudharat secara mutlak dan hakiki. Jika mereka berkeyakinan selain yang telah disebutkan di atas maka mereka telah musyrik tanpa keraguan sedikit pun. Mereka (mutawassil) hanya meyakini para nabi, rasul, dan wali Alloh adalah makhluk Alloh yang sangat dicintai Alloh, memiliki hubungan dekat dengan-Nya, dan merupakan orang-orang pilihan.

Argumen di atas mungkin masih menyisakan pertanyaan bagi pengingkar tawassul. Bukankah hal itu mirip dengan apa yang dilakukan musyrikin ketika menyembah berhala? Sebagaimana firman Alloh, “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Alloh dengan sedekat-dekatnya.” QS al Zumar: 3. Padahal kaum musyrik itu juga berkeyakinan bahwa Alloh-lah yang menciptakan mereka, sebagaimana firman Alloh, “Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka : ‘Siapakah yang menciptakan mereka’, niscaya mereka menjawab ‘Alloh’.” QS al Zukhruf: 87 dan “Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka : ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi’, tentu mereka menjawab ‘Alloh’.” QS Luqman: 25. Maka untuk menjawab pertanyaan di atas, al Iroqi memberikan penjelasan sebagai berikut.

Pertama, Musyrikin telah menjadikan berhala sebagi Tuhan, namun Muslimin tidaklah demikian. Muslimin meyakini nabi sebagai nabi, dan wali sebagai wali. Mereka tidak pernah menjadikan para nabi dan wali sebagai Tuhan layaknya Musyrikin.

Kedua, Musyrikin adalah kaum paganis, meyakini bahwa berhala-berhala tersebut berhak untuk disembah, dan keyakinan itu tidak pernah dimiliki oleh Muslimin. Sedikitpun mereka tidak meyakini bahwa para nabi dan wali berhak untuk disembah, yang berhak untuk disembah hanyalah Alloh swt.

Ketiga, Musyrikin telah jelas-jelas, dan tanpa keraguan, meyembah berhala. Sedangkan Muslimin tidak pernah menyembah hamba-hamba Alloh yang di-tawassuli (mutawassal bih).

Keempat, tujuan Musyrikin ketika menyembah berhala adalah untuk mendekatkan diri (taqorrub) kepada Alloh—walaupun itu tidaklah mungkin terwujud karena cara yang mereka pakai adalah jelas-jelas haram, syirik, dan kufur--. Sedangkan Muslimin ketika bertawassul tidaklah demikian, karena Muslimin yakin bahwa taqorrub kepada Alloh hanya dengan cara ibadah yang dilegalkan syariat, seperti dengan tawassul.

Kelima, ketika Jahiliyyah meyakini bahwa Alloh merupakan jisim yang berada di langit, maka yang dikehendaki dengan perkataan mereka “supaya mereka mendekatkan kami kepada Alloh” adalah kedekatan yang hakiki. Hal ini diperkuat dengan perkataan mereka “zulfa” (dengan sedekat-dekatnya), sebab men-taukid sebuah lafadz (liyuqorribuna= agar mereka mendekatkan kami) dengan lafadz lain yang semakna (zulfa= dengan sedekat-dekatnya) menunjukkan bahwa yang dikehendaki adalah makna hakiki, bukan makna metafora. Kemudian ketika Muslimin tidak meyakini bahwa Alloh merupakan jisim di langit, maka ketika mereka bertawassul tidak mungkin mereka menghendaki sebuah kedekatan yang hakiki.

Dengan jawaban-jawaban di atas, maka tidak ada koherensi antara ayat-ayat yang menjelaskan tentang kaum musyrikin dan tawassul yang dilakukan Muslimin. Dengan kata lain, Muslimin tidak termasuk dalam keumuman ayat, seperti kaidah al ibroh li umumil lafdzi laa likhushushis sabab.



wallohu a'lam
bersambung...
elsunni

Saturday 25 July 2009

Tawassul (2) Tawassul dengan Amal Ibadah



Muslimin telah mencapai kata sepakat tentang disyariatkannya tawassul dengan amal ibadah.
Dalil-dalil Al Quran tentang tawassul antara lain:

1. QS Al Isra’: 57
“Orang-orang yang mereka seru (dan) mencari jalan (wasilah) kepada Tuhan mereka, siapa diantara mereka yang lebih dekat (kepada Alloh) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya. Sesungguhnya azab Tuhanmu adalah sesuatu yang (harus) ditakuti.”
Ayat ini adalah kabar dari Alloh kepada umat-Nya yang ahli ibadah untuk bertawassul berupa ibadah dan muroqobah(mendekatkan diri) agar senantiasa mendapatkan rahmat-Nya dan terhindar dari siksa-Nya.

2. QS Al Imran: 16
“(yaitu) orang-orang yang berdoa, ‘Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan jagalah kami dari siksa neraka.’”
Inilah contoh konkrit tawassul yang difirmankan Alloh dalam Al Quran. Dalam ayat di atas digambarkan bahwa orang-orang yang beriman bertawassul dengan keimanan mereka agar terhindar dari siksa neraka.

3. QS Al Imran: 52
“Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani Israil) berkatalah dia, ‘Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama) Alloh?’ Para Hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab, ‘Kamilah penolong-penolong (agama) Alloh. Kami beriman kepada Alloh, dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri.’”
Ini adalah contoh wasilah umat Nabi Isa. Mereka bertawassul dengan iman agar Alloh jadikan mereka orang-orang yang berserah diri kepada Alloh. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan huruf wawu sebagai athaf yang salah satu faidahnya adalah tartib.

4. QS Al Baqarah: 45
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’.”

Sedangkan dalil-dalil Al Hadits antara lain:

1. “Diceritakan dari Abdulloh bin Umar bin Khattab ra. : Aku mendengar Rasulullah bersabda, ‘Tiga rombongan berangkat hingga membawa mereka bermalam di suatu gua, lalu mereka memasukinya. Tiba-tiba sebuah batu besar menimpa dari gunung dan menutup mereka di (dalam) gua. Maka mereka berkata: ‘Alloh tidak akan menyelamatkan kalian semua dari batu besar ini kecuali kalian berdoa kepada Alloh dengan amal sholih kalian.’ Seorang laki-laki diantara mereka berdoa, ‘Ya Alloh, aku mempunyai dua orang tua yang renta hingga aku tidak pernah mengambil persediaan air minum sore, baik untuk keluarga atau harta (hewan) sebelum mereka berdua. Suatu hari aku jauh mencari pohon (untuk memberi makan hewan yang akan diperah susunya). Maka demi mereka berdua akupun tidak beristirahat hingga kudapati mereka berdua telah tertidur, lantas aku memerahkan susu untuk minum sore beliau berdua, (tapi) kudapati mereka berdua sedang tidur dan aku tidak berani membangunkannya. Aku juga takut memberikan susu minum sore untuk keluarga dan harta (hewan) ku sebelum mereka berdua. Aku diam diri sambil menggenggam wadah susu, aku tunggu beliau berdua bangun hingga terbit fajar tampak terang dan anak perempuan(ku) merengek di samping kakiku. Ya Alloh jika aku kerjakan perbuatan itu untuk mendapat ridlo-Mu semata, maka belahlah batu besar yang membuat aku terkurung di dalamnya.’ Kemudian terbelahlah bagian batu tersebut tapi mereka belum bisa keluar dari tempat itu.Orang yang lain berkata, ‘Ya Alloh, aku mempunyai (hubungan)anak perempuannya paman yang sangat aku cintai.’ –sebagian riwayat— ‘Aku mencintainya selayaknya para lelaki yang mencintai wanita. Maka aku menginginkan dirinya, lalu dia menolakku selama setahun, kemudian dia datang kepadaku, lantas aku beri dia seratus dua puluh dinar dengan syarat mau di tempat sunyi untuk berdua aku dengan dia. Dia melakukan (syarat tersebut). Hingga aku merengkuhnya –sebagian riwayat—ketika aku duduk diantara kedua kakinya, wanita tersebut berkata, ‘Bertakwalah kepada Alloh dan jangan kau bedah keperawanan kecuali haknya (nikah). ’ Serentak aku meninggalkan dia disaat aku sangat mencintainya. Dan kutinggalkan emas yang telah kuberikan kepadanya. Ya Alloh, jika karena kulakukan hal itu hanya untuk mendapat rahmat-Mu, maka bukalah batu besar yang menutupiku di dalamnya. ‘Lantas batu itu terbelah, namun mereka belum bisa keluar dari gua itu. Orang ketiga berkata, ‘Aku menyewa beberapa pekerja dan telah kuberikan upah kepada mereka kecuali satu orang yang lebih dulu meninggalkan tempat kerjanya. Lantas aku kembangkan upah tersebut hingga menjadi harta yang banyak.Setelah beberapa waktu orang tersebut datang kepadaku seraya berkata, ‘Wahai hamba Alloh, bayarlah upah kepadaku.’ Aku menjawab, ‘Semua yang kau lihat berupa unta, lembu, kambing, dan budak adalah upahmu.’ Dia berkata, ‘Wahai hamba Alloh, jangan kau menghina diriku.’ Aku menjawab, ‘Aku tidak menghinamu.’ Orang tersebut lantas mengambil semua harta lantas pergi tanpa meninggalkan harta sedikitpun. Ya Alloh, jika kulakukan hal tersebut hanya untuk mencari rahmat-Mu, maka bukakanlah batu besar yang menutupiku di dalamnya.’ Lantas batu besar tersebut terbelah, merekapun keluar dari gua tersebut dengan berjalan.” HR Bukhari-Muslim

2. “Diceritakan dari Ibnu Abbas ra. berkata Rasulullah saw.ketika bangun bertahajjud berdoa: ‘Ya Alloh Tuhanku, segala puji atas-Mu yang menegakkan langit, bumi, dan segala isinya. Dan segala puji bagi-Mu. Engkau adalah Haq, janjiMu adalah haq, bertemu dengan-Mu adalah haq, firman-Mu adalah haq, surga adalah haq, neraka adalah haq, para nabi adalah haq, nabi Muhammad adalah haq, dan hari kiamat adalah haq. Ya Alloh, hanya pada-Mu aku pasrah, dan dengan dzat-Mu aku beriman, dan atas diri-Mu aku pasrah dan dengan (pertolongan-Mu) aku membuat permusuhan, dan (dengan pasrah) pada-Mu aku membuat kebijaksanaan. Oleh karena itu, ampunilah dosaku yang terdahulu dan yang akan datang, dan dosa yang aku rahasiakan dan yang aku tampakkan.’”
HR Bukhari, Muslim, an Nasai, Ibn Majah, dan al Baihaqi
Selain menerangkan tentang tawassul, hadits ini juga menjelaskan tentang diperkenankannya berdoa dan berzikir dengan jahr (suara keras), asalkan tidak berteriak, karena jika Nabi tidak mengeraskan bacaan beliau, tentu Ibnu Abbas tidak akan mendengar doa Rasulullah saw.
Dan masih banyak hadits lain yang menerangkan diperkenankannya doa dan zikir yang dibaca secara jahr. Hal ini tidaklah bertentangan dengan ayat Al Quran “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan merendahkan diri dan khufyah (samar)...” QS Al A’raf: 55, maksud dari khufyah (samar) adalah ikhlas, demikian menurut Tafsir Qodli Baidlowi.

3. “Diceritakan dari Syaddad bin Aus: Rasululloh saw. bersabda: ‘Sayyidul Istighfar adalah hendaknya seorang hamba mengucap: Ya Alloh Engkaulah Tuhanku, tiada Tuhan selain Engkau, Engkau menciptakanku, aku hambaMu, aku berada dalam perjanjian denganMu dan ikrar padaMu semampuku. Aku berlindung kepadaMu dari kejahatan apa yang aku perbuat, aku mengakui terhadap nikmatMu terhadapku, dan aku mengakui dosaku, maka ampunilah aku karena sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa selain Engkau.’” HR Bukhori
Doa ini dinamakan sayyidul istighfar karena mencakup seluruh makna dan esensi taubat.
Masih banyak hadits Nabi yang menjelaskan tentang disunnahkannya tawassul dengan amal ibadah. Kesunnahan bertawassul ini juga telah diterangkan secara panjang-lebar oleh Ibn Taimiyah (idealis utama Wahhabiyah) dalam kitab-kitabnya, khususnya kitab risalah Qoidah Jaliyyah fi al Tawassul wa al Wasilah.


bersambung...
Wallohu a'lam
el sunni

Tuesday 7 July 2009

Tawassul (1) Pengantar


Jika kita melihat beberapa kamus bahasa Arab yang sering dijadikan rujukan dalam menentukan asal dan makna kata, maka akan kita dapati bahwa kata “Tawassul” mempunyai arti dari ‘darajah’ (kedudukan), atau ‘qurbah’ (kedekatan), atau ‘washlah’ (penyampai/penghubung). Sehingga sewaktu dikatakan bahwa ‘wasala fulan ilallah wasilatan idza ‘amala ‘amalan taqarraba bihi ilaihi’ berarti ‘seseorang telah menjadikan sarana penghubung kepada Allah melalui suatu pebuatan sewaktu melakukan pebuatan yang dapat mendekatkan diri kepada-Nya’. (Kitab Lisan al-‘Arab karya Ibn Mandzur jilid 11; asal kata wa-sa-la).

Dalam Syarh al Qawim hal 378, al Hafizh al Adari menjelaskan definisi tawassul. Tawassul adalah “memohon datangnya manfaat (kebaikan) atau terhindarnya bahaya (keburukan) kepada Alloh dengan menyebut nama seorang nabi atau wali untuk memuliakan keduanya.” Definisi ini juga di-amin-i oleh al Hafizh Taqyuddin al Subki. Dewasa ini telah menyebar persepsi yang tidak benar mengenai tawassul, sehingga mereka menuduh kafir dan musyrik bagi pengamal tawassul. Diantara persepsi mereka adalah memohon kepada nabi atau wali untuk mendatangkan manfaat dan menjauhkan dari bahaya dengan keyakinan bahwa nabi atau wali itulah yang mendatangkan manfaat atau bahaya secara hakiki. Jika meninjau dari persepsi ini, maka tidak diragukan lagi bahwa pengamalnya telah kafir dan syirik, namun persepsi ini tidaklah tepat. Persepsi yang tepat adalah seperti yang telah dijelaskan di atas.

Dasar tawassul adalah ayat al Quran yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kalian kepada Alloh dan carilah jalan (wasilah) yang mendekatkan diri kepada-Nya…” (QS al Maidah:35). Kata wasilah dalam ayat di atas bermakna umum (‘am) dan mencakup tawassul dengan yang memiliki kemuliaan seperti para nabi dan orang sholih pada saat hidup maupun telah wafat, atau dengan mendatangkan (ityan) amal-amal sholih yang telah dikerjakan. Ayat ini memerintahkan kita untuk mencari jalan untuk mendekatkan diri kepada Alloh, salah satunya dengan tawassul yang esensi sebenarnya adalah tabarruk.


Hakekat Tawassul

Seperti telah dijelaskan di atas, banyak orang yang keliru dalam memahami hakekat tawassul. Baiklah, di sini akan kami jelaskan hakekat dari tawassul tersebut.

Pertama, Orang yang bertawassul dalam berdoa kepada Allah menjadikan perantaraan berupa sesuatu yang dicintai-Nya dan dengan berkeyakinan bahwa Allah SWT juga mencintai perantaraan tersebut.

Kedua, Orang yang bertawassul tidak boleh berkeyakinan bahwa perantaranya kepada Allah bisa memberi manfaat dan madlorot kepadanya. Jika ia berkeyakinan bahwa sesuatu yang dijadikan perantaraan menuju Allah SWT itu bisa memberi manfaat dan madlorot, maka dia telah melakukan perbuatan syirik, karena yang bisa memberi manfaat dan madlorot sesungguhnya hanyalah Allah semata.

Ketiga, tawassul merupakan salah satu cara dalam berdoa. Banyak sekali cara untuk berdoa agar dikabulkan Allah, seperti berdoa di sepertiga malam terakhir, berdoa di Maqam Multazam, berdoa dengan mendahuluinya dengan bacaan alhamdulillah dan sholawat dan meminta doa kepada orang sholih. Demikian juga tawassul adalah salah satu usaha agar doa yang kita panjatkan diterima dan dikabulkan Allah swt. Dengan demikian, tawassul adalah alternatif dalam berdoa dan bukan merupakan keharusan. Dalam berdoa, yakinlah bahwa doa itu pasti dikabulkan Alloh swt. fadhlan (apalagi) jika dibarengi dengan tawassul, sebagaimana nash Al Quran dan Al Hadits yang akan kami jelaskan, insya Alloh ta’ala.


Bersambung....

elsunni

Ilmu (3) Hadits tentang Ilmu


Banyak sekali hadits Rasulullah saw. yang menerangkan tentang keutamaan ilmu dan ulama.

Di antara hadits-hadits tersebut antara lain:

1. Dari Sayyidina Abu Hurairah ra.: Nabi saw. bersabda: “Barangsiapa yang menempuh sesuatu jalan untuk mencari ilmu pengetahuan di situ, maka Allah akan mempermudahkan baginya suatu jalan untuk menuju ke surga.” (HR Muslim)

2. Dari Sayyidina Abu Hurairah ra.: Nabi saw. bersabda: “Dunia ini adalah terlaknat, terlaknat pula apa-apa yang ada di atasnya, melainkan berzikir kepada Allah dan apa-apa yang menyamainya, juga orang yang alim serta orang yang menuntut ilmu.” (HR Tirmdzi, Hadits Hasan)

3.Dari Sayyidina Anas ra.: Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa keluar untuk menuntut ilmu, maka ia dianggap sebagai orang yang berjihad fi-sabilillah sehingga ia kembali.”(HR Tirmidzi, Hadits Hasan)

4. Rasulullah saw. bersabda, “Tidurnya orang alim lebih baik daripada sholatnya orang bodoh.”

5. Dari Sayyidina Muawiyah ra.: Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah untuk memperoleh kebaikan, maka Allah membuat ia menjadi pandai dalam hal keagamaan.” (Muttafaq ‘alaih)

6. Dari Sayyidina Abu Darda’ ra.: Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa menempuh suatu jalan untuk mencari sesuatu ilmu pengetahuan di situ, maka Allah akan memudahkan untuknya suatu jalan untuk menuju syurga, dan sesungguhnya para malaikat itu niscayalah meletakkan sayap-sayapnya kepada orang yang menuntut ilmu itu, karena ridha sekali dengan apa yang dilakukan oleh orang itu. Sesungguhnya orang alim itu niscayalah dimohonkan pengampunan untuknya oleh semua penghuni di langit dan penghuni-penghuni di bumi, sampaipun ikan-ikan yu yang ada di dalam air. Keutamaan orang alim atas orang yang beribadat itu adalah seperti keutamaan bulan atas bintang-bintang yang lain. Sesungguhnya para alim ulama adalah pewarisnya para Nabi, se-sungguhnya para Nabi itu tidak mewariskan dinar ataupun dirham, hanyasanya mereka itu mewariskan ilmu. Maka barangsiapa dapat mengambil ilmu itu, maka ia telah mengambil dengan bagian yang banyak sekali.” (HR Tirmidzi dan Abu Dawud)

7. Dari Sayyidina Abu Musa ra.: Nabi s.a.w. bersabda: “Perumpamaan dari petunjuk dan ilmu yang dengannya saya diutus oleh Allah itu adalah seperti hujan yang mengenai bumi. Di antara bumi itu ada bagian yang baik, yaitu dapat menerima air, kemudian dapat pula menumbuhkan rumput dan lalang yang banyak sekali, menahan masuknya air dan selanjutnya dengan air yang bertahan itu Allah lalu memberikan kemanfaatan kepada para manusia, karena mereka dapat minum daripadanya, dapat menyiram dan bercucuk tanam. Ada pula hujan itu mengenai bagian bumi yang lain, yang ini hanyalah merupakan tanah rata lagi licin. Bagian bumi ini tentulah tidak dapat menahan air dan tidak pula dapat menumbuhkan rumput. Jadi yang sedemikian itu adalah contohnya orang pandai dalam agama Allah dan petunjuk serta ilmu yang dengannya itu saya diutus, dapat pula memberikan kemanfaatan kepada orang tadi, maka orang itupun mengetahuinya – mempelajarinya, kemudian mengajarkannya – yang ini diumpamakan bumi yang dapat menerima air atau dapat menahan air, dan itu puIalah contohnya orang yang tidak suka mengangkat kepala untuk menerima petunjuk dan ilmu tersebut. Jadi ia enggan menerima petunjuk Allah yang dengannya itu saya dirasulkan – ini contohnya bumi yang rata serta licin.” (Muttafaq ‘alaih)

8. Dari Sayyidina Abdullah bin ‘Amr bin al-’Ash radhiallahu ‘anhuma berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah itu tidak mencabut ilmu pengetahuan dengan sekaligus pencabutan yang dicabutnya dari para manusia, tetapi Allah mencabut ruhnya para alim-ulama, sehingga apabila tidak ditinggalkannya lagi seorang alimpun di dunia ini, maka orang-orang banyak akan mengangkat para pemimpin -atau kepala-kepala pemerintahan – yang bodoh-bodoh. Mereka – para pemimpin dan kepala – itu ditanya, lalu memberikan keterangan fatwa dengan tanpa menggunakan dasar ilmu pengetahuan. Maka akhirnya mereka itu semuanya sesat dan pula menyesatkan- orang lain.” (Muttafaq ‘alaih)


Dan masih banyak sekali hadits yang menerangkan tentang keutamaan ilmu dan ulama.

Wallohu a’lam.

el Sunni

Maraji’

Syekh Dahlan Al Kediri. Sirojut Tholibin ‘ala Syarh Minhajul Abidin.

Al Imam An Nawawi. Riyadhus Sholihin.

Syekh Utsman bin Hasan al Khoubawiy. Durrotun Nashihin.

Ilmu (2) Mencari Ilmu adalah Kewajiban bagi Muslimin


Mencari Ilmu adalah Kewajiban bagi Muslimin

Sebagaimana telah kita maklumi bersama, bagi orang Islam menuntut ilmu merupakan suatu kewajiban. Sebagaimana hadits Sayyidina Rasulullah saw. yang kurang lebih artinya: “Mencari ilmu adalah fardlu (kewajiban) bagi orang-orang beriman laki-laki dan perempuan.”

Dari sini akan timbul pertanyaan, apakah yang dimaksud fardlu dalam hadits di atas adalah mutlak untuk semua ilmu? Tentu saja tidak. Terdapat takhshish-takhshish (peng-khususan) yang membatasinya.

Mempelajari ilmu yang mendorong kepada perbuatan keji, mungkar, dan syirik kepada Alloh tentulah haram untuk dipelajari, seperti ilmu-ilmu pengobatan yang melanggar syariat tentu saja haram. Begitu juga dengan belajar ilmu perdukunan yang membuat terjerumus kepada syirik; mempelajari ilmu membuat narkoba dan miras untuk hal-hal yang melanggar syariat, jelas-jelas haram.

Dalam kitab Ta’limul Muta’allim karangan Syekh az Zurnuji, dikatakan bahwa ilmu yang wajib dipelajari adalah ilmu hal, yaitu ilmu yang mutlak dibutuhkan saat ini, atau dengan kata lain: ilmu syariat. Diantaranya adalah ilmu tentang wudlu, shalat, puasa, haji, muamalah, nikah, dan seterusnya. Tentu saja dalam mempelajari ilmu hal tersebut harus dilandasi niat yang mulia dan baik, karena setiap amal tergantung atas niat yang diniatkannya.

Al Imam Abu Hamid Muhammad al Ghazali menuturkan, ilmu yang wajib dipelajari ada tiga, yaitu:

1. Ilmu Tauhid (menurut sebagian ulama disebut ilmu kalam; red.)

Tauhid adalah mengiktikadkan ke-Esa-an Alloh swt dan mengikrarkannya (dalam syahadat; red.).

Syekh az Zubaidi mengatakan, “Barangsiapa meninggalkan empat pertanyaan maka sempurnalah tauhidnya, yaitu ‘bagaimana’, ‘kapan’, ‘dimana’, dan ‘kapan.’ Pertanyaan pertama tentang kaifiyah (tingkah) maka jawabannya: ‘tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya.’ Pertanyaan kedua tentang zaman/waktu, maka jawabannya ‘Dia tidak terpaku pada waktu.’ Pertanyaan ketiga tentang tempat, maka jawabannya ‘Dia tidak terpaku pada tempat.’ Pertanyaan keempat tentang bilangan, maka jawabannya ‘Dia adalah Esa yang Tunggal.’

2. Ilmu Sirr

Yaitu segala sesuatu yang berkenaan denga hati dan pergolakannya. Seperti ikhlas, tawakkal, dan seterusnya.

3. Ilmu Syariat

Yaitu tentang segala hal yang ditetapkan oleh As Syari’ (Pembuat Syariat: Alloh swt.) mengenai baik-buruknya sesuatu. Biasanya ilmu syariat lebih akrab dengan ibadah dzohir (ibadah badan), dan akrab pula dengan ilmu Fiqh.

Kemudian apakah belajar ilmu dunia, seperti Akuntansi, Pajak, dan Keuangan Publik itu tidak mendapat pahala ketika kita mempelajarinya? Mengingat ilmu-ilmu itu tidak wajib kita pelajari? Seperti telah disinggung di atas, setiap amal tergantung pada niat. Banyak amal yang merupakan amal akhirat dihitung sebagai amal dunia karena buruknya niat, dan banyak pula amal dunia dihitung sebagai amal akhirat karena baiknya niat.

Hadits Nabi saw. “Barangsiapa yang mempelajari sesuatu ilmu pengetahuan dari golongan ilmu yang semestinya untuk digunakan mencari keridhaan Allah ‘Azza wa jalla, tetapi ia mempelajarinya itu tiada lain maksudnya kecuali hendak memperoleh suatu tujuan dari keduniaan, maka orang yang sedemikian tadi tidak akan dapat menemukan keharuman surga pada hari kiamat.” (HR Abu Dawud, Hadits Shohih).

Jika ilmu itu digunakan untuk mencari rizki yang halal di jalan Alloh, maka akan menjadi baik, demikian juga sebaliknya. Mencari kehalalan adalah wajib, sehingga ilmu untuk mencari rizki yang halal juga wajib. Dari Sayyidina Anas ra.: Rasulullah saw bersabda, “Mencari sesuatu yang halal adalah wajib bagi setiap muslim.” Dalam redaksi Sayyidina Ibn Abbas dan Ibn Umar, “Mencari sesuatu yang halal adalah jihad.”

Ilmu (1) Sebuah Pengantar


“Katakanlah: “Apakah sama antara orang-orang yang mengetahui dan orang-orang yang tidak mengetahui “ (Az Zumar: 9)

Pengantar

Alloh berfirman dalam Al Quran, yang kurang lebih artinya sebagai berikut.

“Alloh akan mengangkat (derajat) orang-orang beriman dan berilmu di antara kalian (dengan) beberapa derajat.” (Al Mujadalah: 11)

Ayat di atas menerangkan tentang keutamaan iman dan ilmu sebagai modal utama dalam beramal baik. Orang-orang yang beriman dan berilmu memiliki derajat tersendiri di sisi Alloh swt. yang derajat itu tidak didapati oleh orang-orang biasa.

Dalam tulisan singkat ini, insya Alloh akan kami jelaskan sedikit tentang keutamaan-keutamaan ilmu.

Kedudukan Ilmu

Ilmu memiliki kedudukan yang sangat mulia dalam Islam. Sebagaimana telah kita ketahui bersama, Nabiyulloh Muhammad saw. ketika pertama kali diberi wahyu oleh Alloh melalui malaikat Jibril as. adalah dengan kata iqro’ (bacalah).

Dalam hikmah Nabiyulloh Dawud as. dikatakan “Ilmu yang ada dalam dada seperti lampu dalam rumah.”

Dalam tataran kehidupan, ilmu yang ada dalam diri kita haruslah dapat bermanfaat –yang disebut dengan ilmu an nafi’ oleh Hujjatul Islam al Ghazali –. Ilmu an nafi’ adalah ilmu tentang Alloh swt –yaitu tentang sifat dan asma Alloh –, ilmu tentang cara-cara beribadah kepada-Nya, dan ilmu tentang beradab sebagai makhluk-Nya.

Selanjutnya, ilmu an nafi’ akan dapat mendekatkan hamba kepada Alloh swt. Berkata Syekh Robi’ bin Anas, “Orang yang tidak takut kepada Alloh bukanlah orang alim.” Dalam kitab Lathaif al Minan dikatakan, “Maka tanda-tanda ilmu yang dicari (karena) Alloh adalah (muncul rasa) takut kepada Alloh ta’ala, sedangkan tanda-tanda takut kepada Alloh adalah melaksanakan perintah-perintah-Nya.”

Pernyataan-pernyataan di atas sesuai dengan Firman Alloh swt. dalam Al Quran, “Bahwasanya yang takut kepada Allah dari kalangan hamba- hambaNya itu ialah para alim-ulama.”