Sunday 26 July 2009

Tawassul (3) Tawassul dengan para nabi dan rasul, dan orang-orang sholih


Perlu diingat, para mutawassil tidak pernah menjadikan para nabi, rasul dan wali Alloh (orang-orang sholih) sebagai sekutu Alloh. Selain itu mereka juga tidak meyakini bahwa para nabi, rasul, dan wali Alloh bisa mendatangkan manfaat dan mudharat secara mutlak dan hakiki. Jika mereka berkeyakinan selain yang telah disebutkan di atas maka mereka telah musyrik tanpa keraguan sedikit pun. Mereka (mutawassil) hanya meyakini para nabi, rasul, dan wali Alloh adalah makhluk Alloh yang sangat dicintai Alloh, memiliki hubungan dekat dengan-Nya, dan merupakan orang-orang pilihan.

Argumen di atas mungkin masih menyisakan pertanyaan bagi pengingkar tawassul. Bukankah hal itu mirip dengan apa yang dilakukan musyrikin ketika menyembah berhala? Sebagaimana firman Alloh, “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Alloh dengan sedekat-dekatnya.” QS al Zumar: 3. Padahal kaum musyrik itu juga berkeyakinan bahwa Alloh-lah yang menciptakan mereka, sebagaimana firman Alloh, “Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka : ‘Siapakah yang menciptakan mereka’, niscaya mereka menjawab ‘Alloh’.” QS al Zukhruf: 87 dan “Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka : ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi’, tentu mereka menjawab ‘Alloh’.” QS Luqman: 25. Maka untuk menjawab pertanyaan di atas, al Iroqi memberikan penjelasan sebagai berikut.

Pertama, Musyrikin telah menjadikan berhala sebagi Tuhan, namun Muslimin tidaklah demikian. Muslimin meyakini nabi sebagai nabi, dan wali sebagai wali. Mereka tidak pernah menjadikan para nabi dan wali sebagai Tuhan layaknya Musyrikin.

Kedua, Musyrikin adalah kaum paganis, meyakini bahwa berhala-berhala tersebut berhak untuk disembah, dan keyakinan itu tidak pernah dimiliki oleh Muslimin. Sedikitpun mereka tidak meyakini bahwa para nabi dan wali berhak untuk disembah, yang berhak untuk disembah hanyalah Alloh swt.

Ketiga, Musyrikin telah jelas-jelas, dan tanpa keraguan, meyembah berhala. Sedangkan Muslimin tidak pernah menyembah hamba-hamba Alloh yang di-tawassuli (mutawassal bih).

Keempat, tujuan Musyrikin ketika menyembah berhala adalah untuk mendekatkan diri (taqorrub) kepada Alloh—walaupun itu tidaklah mungkin terwujud karena cara yang mereka pakai adalah jelas-jelas haram, syirik, dan kufur--. Sedangkan Muslimin ketika bertawassul tidaklah demikian, karena Muslimin yakin bahwa taqorrub kepada Alloh hanya dengan cara ibadah yang dilegalkan syariat, seperti dengan tawassul.

Kelima, ketika Jahiliyyah meyakini bahwa Alloh merupakan jisim yang berada di langit, maka yang dikehendaki dengan perkataan mereka “supaya mereka mendekatkan kami kepada Alloh” adalah kedekatan yang hakiki. Hal ini diperkuat dengan perkataan mereka “zulfa” (dengan sedekat-dekatnya), sebab men-taukid sebuah lafadz (liyuqorribuna= agar mereka mendekatkan kami) dengan lafadz lain yang semakna (zulfa= dengan sedekat-dekatnya) menunjukkan bahwa yang dikehendaki adalah makna hakiki, bukan makna metafora. Kemudian ketika Muslimin tidak meyakini bahwa Alloh merupakan jisim di langit, maka ketika mereka bertawassul tidak mungkin mereka menghendaki sebuah kedekatan yang hakiki.

Dengan jawaban-jawaban di atas, maka tidak ada koherensi antara ayat-ayat yang menjelaskan tentang kaum musyrikin dan tawassul yang dilakukan Muslimin. Dengan kata lain, Muslimin tidak termasuk dalam keumuman ayat, seperti kaidah al ibroh li umumil lafdzi laa likhushushis sabab.



wallohu a'lam
bersambung...
elsunni

No comments:

Post a Comment